Minggu, 14 Februari 2010

Makalah Lingkungan Hidup dan Penegakannya

MASALAH LINGKUNGAN HIDUP DAN PENEGAKANNYA DITINJAU DARI SEGI KEBIJAKAN KRIMINAL
Oleh: Supriyanta

A. Pendahuluan

Kebijakan kriminal adalah usaha yang rasional dari masyarakat/negara untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan kriminal ini bisa dilakukan dengan sarana penal yaitu dengan menggunakan hukum pidana dan sarana non penal atau menggunakan sarana-sarana lain di luar hukum pidana. Masalah lingkungan hidup adalah masalah yang sangat kompleks, karena memiliki dimensi yang sangat luas. Dari sisi hukum bahkan pengaturan yang ada harus sangat berhati-hati karena cakupan yang ada di dalamnya demikian luas meliputi berbagai aspek.
Dilihat darti perkembangan hukum khususnya hukum pidana, pada zaman modern ini telah muncul bagian-bagian hukum pidana seperti hukum pidana anak, hukum pidana militer, hukum pidana fiskal, sampai pada hukum pidana lingkungan. Dalam KUHP sendiri sebenarnya tidak terdapat bab khusus yang mengatur mengenai tindak pidana lingkungan, akan tetapi beberapa pasal di dalamnya ada yang berkaitan dengan masalah lingkungan yaitu Pasal 187-188 KUHP : menimbulkan kebakaran,ledakan atau banjir;Pasal 191 KUHP: menghancurkan (dan sebagainya) bangunan untuk menahan atau menyalurkan air;Pasal 202 KUHP : memasukan barang sesuatu (yang berbahaya) ke dalam sumber-sumber air untuk umum;Pasal 497 KUHP : menyalakan api di jalan umum yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;Pasal 500 KUHP : membuat obat ledak tanpa izin;Pasal 501 KUHP : menjual (dan sebagainya) barang makanan/minuman yang dipalsukan, busuk atau berasal dari ternak sakit; Pasal 502 KUHP : berburu di hutan tanpa izin; Pasal 503 KUHP : membuat gaduh/berisik tetangga di waktu malam atau dekat dengan bangunan ibadah; Pasal 548-549 KUHP : membiarkan unggas ternak berjalan di kebun/tanah benihan.
Disamping itu juga terdapat beberapa undang-undang yang bersifat sektoral seperti Undang-undang Perikanan, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perindustrian, dan sebagainya yang di dalamnya mencantumkan sanksi pidana. Jadi bidang-bidang yang berkaitan dengan hukum lingkungan memang sangat luas dan cenderung tidak bisa dibatasi keterkaitan dan keterpengaruhannya satu dengan yang lain.
Mengenai undang-undang lingkungan sendiri menurut sejarahnya pernah berlaku undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (dikenal sebagai Umbrella Act) yang kemudian telah diganti dengan Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mulai berlaku pada tanggal 19 September 1997. Hukum lingkungan adalah hukum fungsional. Ia menempati posisi silang pelbagai bidang hukum lain, jadi hukum lingkungan terdiri dari norma-norma bidang hukum lain yang berkaitan dengan atau penting bagi hukum lingkungan, seperti norma hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana dan sebagainya.

B. Beberapa Substansi Undang-Undang No.23 Tahun 1997
Undang-Undang Lingkungan Hidup (UULH) No.23 Tahun 1997 diundangkan pada tanggal 19 September 1997 (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68) yang memuat prinsip-prinsip hukum lingkungan sebagai berikut : Pengertian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 1); Wawasan Nusantara (Pasal 2); Asas, Tujuan dan Sasaran (Pasal 3 dan 4); Hak dan Kewajiban atas lingkungan yang sehat (Pasal 5 dan 6); Peran serta masyarakat (Pasal 7); Keterpaduan (Pasal 9 dan Pasal 11-12); Sistem perizinan, Pengawasan, dan Sanksi administrasi (Ps.18,19,22,26-27); Audit lingkungan hidup (Ps.28-29);Ganti Rugi (Ps.34); Tanggungjawab Mutlak Pencemar (Ps.35); Sanksi Pidana dan Tindakan Tata Tertib (Ps.41, 47).
Melihat substansi yang diatur dalam UULH maka terlihat ada beberapa norma hukum yang terkait di situ yaitu hukum administrasi seperti dalam pengaturan sistem perizinan, pengawasan dan sekaligus mengenai sanksi administrasi, juga mengenai hukum perdata yang nampak dalam pengaturan soal ganti rugi dan tanggungjawab mutlak pencemar serta hukum pidana yaitu dengan adanya pengaturan tentang ketentuan pidana ( hukum pidana materiil ) dan penyidikan ( hukum pidana formil ) sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UULH.

C. Unsur-Unsur Tindak Pidana Lingkungan Hidup.
Istilah tindak pidana dipakai sebagai pengganti istilah strafbaar feit. Disamping istilah tindak pidana ada juga istilah-istilah lain yang maksudnya juga strafbaar feit seperti peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik. Istilah yang disebut terakhir ini berasal dari bahasa latin delictum.
Mengenai delik dalam arti strafbaar feit para pakar hukum pidana masing-masing memberi definisi sendiri-sendiri. Vos misalnya berpendapat bahwa delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum berdasarkan undang-undang. Van Hamel menyatakan bahwa delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan Simons berpendapat delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum ( Leden Marpaung, 2005 : 5 ).
Dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana diantaranya adalah delik formil yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang. Di sini rumusan dari perbuatan jelas misalnya saja Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Delik atau tindak pidana materiil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, dengan kata lain hanya disebut rumusan dari akibat perbuatan, sebagai contoh adalah Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Tindak pidana yang diatur dalam UULH terdapat dalam ketentuan Pasal 41 s/d 44. Secara kategoris tindak pidana lingkungan hidup yang diatur dalam UULH ini terdiri dari perbuatan pencemaran lingkungan hidup; perbuatan perusakan lingkungan hidup; dan perbuatan lain yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku ( M. Hamdan, 2000 : 39 ).
Pasal 41 UULH menyatakan :
(1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat pelaku tindak pidana diancam penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42 UULH menyatakan :
(1) Barangsiapa yang karena kealpaanya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43 UULH menyatakan :
(1) Barangsiapa yang dengan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat,energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukanimpor,ekspor,memperdagangkan,mengangkut,menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya padahal mengetahui atau sangat ber alasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umumatau nyawa orang lain, diancam pidana penjara paling lama 6(enam) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksudpada ayat (1) barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitanya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat,pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan ) tahun dan denda paling banyak Rp.450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 44 UULH menyatakan :
(1) Barangsiapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam pidana paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp.150.000.000,00 (seratus lima pluh juta rupiah).

Menurut ketentuan Pasal 45 UULH jika tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain selain, sanksi pidana juga dapat dikenakan tindakan tata tertib.
Sanksi yang berupa tindakan tata tertib ini diatur dalam Pasal 47 yaitu meliputi : perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak ; dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. Kualifikasi tindak pidana lingkungan hidup ini termasuk kategori kejahatan (Pasal 48 UULH ).
Apa yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 1 angka 12 UULH yang menyatakan pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 1 UULH adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Dimaksudkan dengan perusakan lingkungan hidup menurut Pasal 1 angka 14 UULH adalah tindakan yang menimbulkan perubahan lingkungan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.
Berdasarkan ketentuan yang dikutip di atas maka dapat diuraikan tentang unsur-unsur perbuatan yang dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan hidup yaitu : masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lainnya ke dalam lingkungan hidup, dilakukan oleh kegiatan manusia, menimbulkan penurunan “kualitas lingkungan” sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Sedangkan unsur-unsur dari perbuatan perusakan lingkungan hidup adalah adanya tindakan, yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak terhadap sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
Menurut ketentuan Pasal 50 (ketentuan penutup) UULH dinyatakan bahwa “pada saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”. Perbuatan apa yang diatur tersebar dalam berbagai peraturan dan undang-undang termasuk yang diatur di dalam KUHP sendiri seperti telah dikutip di atas dan juga peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat sektoral.
D. Penegakan Hukum Lingkungan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum yaitu faktor perundang-undangannya sendiri ( substansi hukum ), faktor penegak hukum termasuk kelembagaannya ( struktur hukum ) dan faktor kesadaran hukum masyarakat ( kultur hukum ). Dari segi substansi hukum sebagaimana diketahui bahwa hukum lingkungan mempunyai sifat yang istimewa karena ia menempati posisi simpang lintas beberapa bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pajak, hukum tata negara bahkan hukum internasional, demikian juga obyek dan pelanggaran hukum lingkungan juga menempati simpang lintas sektoral seperti bidang industri, kesehatan, pertanian, perikanan, kehutanan dan sebagainya.
Hukum acaranya juga bersifat khusus terutama dari aspek pembuktianya yang memerlukan laboratorium kimia dan sebagainya. Bahkan locus delicti tindak pidana lingkungan hidup juga dapat melintasi batas-batas negara. Oleh karena sifat hukum lingkungan yang demikian itulah maka penanganan pelanggaran tindak pidana lingkungan hidup memerlukan kebijakan lingkungan dari Pemerintah.
Di tingkat pusat diperlukan kerjasama antara beberapa departemen sedangkan di tingkat daerah harus ada kerjasama yang serasi antara pelaksana kebijakan lingkungan dan penegak hukum seperti polisi, jaksa. Demikian juga di tingkat internasional memerlukan kerjasama internasional dari negara-negara berdaulat baik yang bersifat multilateral maupun bilateral. Selanjutnya dari aspek struktur hukum atau kelembagaanya yang perlu dipikirkan adalah mengenai kualitas sumber daya manusia penegak hukum lingkungan, dalam hal ini dibutuhkan polisi dan jaksa yang dididik secara khusus untuk menangani masalah lingkungan disamping tentu saja kelengkapan sarana dan prasarana maupun pendanaanya.
Diperlukan juga political will pemerintah untuk memprioritaskan penanganan tindak pidana lingkungan hidup seperti halnya tindak pidana korupsi. Faktor yang ketiga adalah mengenai kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat juga perlu ditumbuhkan dan ditingkatkan baik melalui pendidikan hukum lingkungan, penerangan maupun penyuluhan hukum lingkungan secara lebih memadai.
Peraturan tentang lingkungan memiliki dua sisi yaitu pertama, ialah kaidah atau norma sedangkan sisi yang lain adalah instrumen yang merupakan alat untuk menegakan kaidah norma itu. Ada tiga instrumen utama dalam menegakan hukum lingkungan yaitu instrumen administrasi, instrumen perdata dan intrumen hukum pidana. Instrumen mana yang akan digunakan harus dikaji secara cermat namun pada prinsipnya ketiga instrumen hukum tersebut bersifat komplementer artinya saling mengisi dan menunjang.

E. Penutup
Sesuai dengan posisinya yang berada di simpang lintas berbagai bidang hukum, maka penegakan hukum lingkungan memerlukan koordinasi lintas bidang baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Disamping itu menurut Andi Hamzah, penegakan hukum lingkungan yang baik membutuhkan perundang-undangan yang baik, pengetahuan hukum yang baik, administrasi yang baik dan kemampuan infrastruktur yang memadai (vide Andi Hamzah, 1995 : 19 ). Lebih dari itu adalah adanya political will pemerintah untuk menjadikan penegakan hukum lingkungan sebagai aksi nasional yang melibatkan seluruh komponen masyarakat.

Surakarta, Agustus 2008


DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Obstacles of Environmental Law Enforcement In Indonesia, dalam Majalah Hukum Trisakti No. 18 / Tahun XX/ April 1995.
--------------------,Bahan Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, 1993.

M. Hamdan, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, CV. Mandar Maju, Bandung.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Leden Marpaung, 2005, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif

PEMBERDAYAAN MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA UNTUK MENDUKUNG VISI INDONESIA 2030

Oleh : Supriyanta


Pendahuluan.
Penggunaan perundang-undangan secara sadar oleh Pemerintah sebagai suatu sarana untuk melakukan tindakan sosial yang terorganisasi telah merupakan ciri khas negara modern. Dalam tingkatan penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang dikehendaki seperti yang dialami oleh negara modern sekarang ini, maka bisa timbul persoalan yang berkisar pada tegangan antara idea kepastian hukum dan penggunaan hukum untuk melakukan perubahan-perubahan.
Idea kepastian hukum menghendaki adanya stabilitas di dalam masyarakat, sedangkan penggunaan hukum secara instrumental adalah untuk menciptakan perubahan melalui pengaturan tingkah laku warga masyarakat menuju pada sasaran yang dikehendaki. Perundang-undangan merupakan sandaran negara untuk mewujudkan kebijaksanaannya. Seidman dalam hal ini mengatakan bahwa tata hukum itu merupakan saringan yang menyaring kebijaksanaan pemerintah sehingga menjadi tindakan yang dapat dilaksanakan.
Mengikuti teori-teori tentang hukum dan perubahan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Emile Durkheim yang menekankan perhatiannya pada fenomen solidaritas sosial yang terdapat diantara para anggota masyarakat. Di mana solidaritas sosial itu belum membentuk, yaitu dimana hubungan diantara orang-orang di dalam suatu lingkungan kehidupan itu hanya bersifat kadangkala, maka di situ tidak akan ditemukan pengaturan yang terperinci. Lebih lanjut Durkheim kemudian menanyakan bagaimana kita dapat mengukur solidaritas sosial itu. Sekalipun fenomen itu tidak dapat dilihat dan diukur secara pasti, tetapi ia mempunyai lambang yang dapat kita tangkap yaitu : hukum. Bertolak dari ungkapan ini selanjutnya ia melihat adanya pertalian diantara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas sosial di dalam masyarakat. Durkheim membuat pembedaan antara hukum yang menindak dan hukum yang mengganti. Hukum yang menindak ini adalah hukum pidana.
Menurut Durkheim, maka dasar hukum ini adalah suatu solidaritas sosial yang disebutnya solidaritas mekanik. Solidaritas jenis ini ditimbulkan dari kesamaan yang mengkaitkan individu dengan masyarakatnya. Di dalam masyarakat ini terdapat kesamaan di antara para anggotanya mengenai kebutuhan-kebutuhan, perikelakuan, kepercayaan dan sikap. Perasaan kesamaan ini tidak hanya menarik para anggota masyarakat menjadi satu melainkan juga menjadi landasan berdirinya masyarakatnya. Dengan demikian maka serangan terhadap masyarakat dihadapi dengan kesadaran bersama pula, yang mempunyai pola penindakan terhadap kejahatan. Berbeda dengan tipe hukum yang menindak adalah hukum yang mengganti, di sini hukum merupakan pencerminan dari suatu masyarakat dimana terdapat suatu diferensiasi dan spesialisasi fungsi-fungsi di dalam masyarakat. Keadaan ini menciptakan perbedaan-perbedaan di dalam pengalaman dan pandangan. Adanya diferensiasi ini secara dinamis menimbulkan kebutuhan akan adanya kerjasama di antara para individu anggota masyarakat. Solidaritas yang ditimbulkan oleh keadaan yang demikian itu adalah solidaritas organik. Hukum yang dibutuhkan bukan lagi hukum yang bekerjanya adalah dengan cara menindak, membatasi, tetapi yang memberikan penggantian sehingga keadaannya menjadi pulih lagi seperti semula.
Uraian di atas merupakan pengantar untuk memahami keadaan masyarakat Indonesia terkait dengan visi Indonesia 2030 gagasan Yayasan Indonesia Forum yang mentargetkan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia pada urutan kelima setelah China, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan India.Dengan mengacu pada kerangka berpikir seperti diuraikan di atas maka akan kita tinjau salah satu faktor yang penting dalam kerangka pencapaian visi tersebut yaitu mengenai keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang oleh salah satu pakar hukum ekonomi Indonesia merupakan salah satu prasyarat yang harus ada.
Pakar hukum ekonomi Adi Sulistiyono mengungkapkan bahwa visi tersebut memerlukan beberapa persyaratan untuk pencapaiannya yaitu antara lain adalah perlunya reformasi sistem hukum. Dalam kaitannya dengan reformasi sistem hukum, proyek besar pembangunan hukum ekonomi harus diabdikan karena merupakan salah satu syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk mendukung terwujudnya Indonesia menjadi kekuatan ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, mampu menekan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan memakmurkan rakyat .
Dikatakan selanjutnya bahwa pembangunan hukum ekonomi berkelanjutan tidak lagi sekedar bongkar pasang pasal-pasal dalam suatu undang-undang atau pembuatan undang-undang baru saja, tetapi juga memperhatikan daya dukung aspek lain yaitu 1). Pendidikan hukum, 2) reformasi substansi hukum, 3) mekanisme penyelesian sengketa yang berwibawa dan efisien, 4) penegakan etika bisnis, 5) menumbuhkan jiwa nasionalis pada anggota legislatif, 6) komitmen presiden dan wakil presiden, yang aktivitasnya dilakukan secara kait mengkait, bersama-sama,dan terus menerus, saling dukung mendukung.
Dalam pada itu dikatakan oleh beliau khususnya menyangkut keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa”alternative dispute resolution”( ADR ) seperti negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase, sebagai daya tarik investasi sudah banyak disadari oleh banyak negara. Hal ini juga yang memotivasi beberapa negara untuk mengembangkannya secara progresif, seperti AS, Jepang, Korea, Australia, Inggris, Hongkong, Singapura, Srilanka, Filipina dan negara-negara Arab. Sudah saatnya Indonesia disamping membenahi lembaga peradilan secara revolusioner, juga serius mengembangkan penyelesaian sengketa bisnis melalui ADR, agar investor tertarik masuk di Indonesia. Inilah secara garis besar pemikiran yang disampaikan sebagai masukan dalam kerangka pencapaian visi Indonesia 2030 agar menjadi kenyataan. Permasalahan yang selanjutnya ingin dibahas dalam makalah ini adalah mengenai pemberdayaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan berwibawa dalam kerangka menunjang pencapaian visi Indonesia 2030. Seberapa besar pengaruh mekanisme penyelesaian sengketa tersebut dalam rangka upaya pencapaian visi Indonesia 2030.
Lembaga Pengadilan dan Demokratisasi Hukum
Berbicara tentang keberadaan mekanisme penyelesaian sengketa, maka mau tidak mau kita akan melihat lembaga pengadilan sebagai institusi yang sampai hari ini masih dipercaya oleh berbagai negara di dunia sebagai lembaga yang dianggap mampu memberikan keadilan bagi segenap masyarakatnya. Demikian juga dengan Indonesia, sebagai negara modern juga tidak bisa melepaskan dirinya dari keadaannya yang demikian itu. Namun kenyataan menunjukkan bahwa dari masa ke masa keberadaan lembaga pengadilan tersebut selalu saja menimbulkan persoalan apakah lembaga tersebut benar-benar merupakan lembaga yang secara nyata mampu memberikan keadilan? Lebih dari itu apakah tidak ada cara lain bagi masyarakat atau pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan selain hanya melalui lembaga pengadilan belaka?.
Sebagai negara yang memiliki visi menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia pada masa datang, maka jelas hal itu memerlukan keberadaan hukum (baca: pengadilan) yang menjamin adanya kepastian hukum artinya terwujudnya kepastian hukum melalui pengadilan ini merupakan conditio sine qua non yang harus dipenuhi. Tanpa adanya jaminan kepastian hukum ini, maka perkembangan ekonomi akan sangat sulit diharapkan terwujud, karena tentunya investor akan enggan untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Tugas hukum yang utama, khususnya bidang hukum ekonomi, adalah senantiasa menjaga dan mengadakan kaidah-kaidah pengaman, agar pelaksanaan pembangunan ekonomi tidak hanya dipandang sebagai perangkat norma-norma yang bersifat otonom, tetapi juga sebagai institusi sosial yang secara nyata berkaitan erat dengan berbagai segi sosial di masyarakat .
Berkaitan dengan eksistensi hukum dalam rangka mengawal tujuan pencapaian visi Indonesia 2030, maka bidang hukum ini juga akan dihadapkan pada persoalan demokratisasi hukum. Dalam kerangka mencapai demokratisasi hukum ini kita telah memiliki modal awal yaitu reformasi politik yang secara dramatis terjadi pada tahun 1998. Terjadinya reformasi di awal tahun 1998 tersebut boleh dikatakan merupakan tonggak sejarah awal terjadinya reformasi hukum di Indonesia. Istilah reformasi hukum bisa dikonotasikan dalam dua hal yaitu sebagai upaya untuk menggantikan produk hukum kolonial dengan hukum nasional dan kedua dapat juga diinterpretasikan sebagai demokratisasi hukum. Dalam kerangka demokratisasi hukum, Muladi menjelaskan bahwa disamping sebagai dependent variable yang hanya melembagakan perubahan sosial yang terjadi, di sisi lain hukum juga bisa diberdayakan secara aktif sebagai instrumen perubahan sosial (independent variable) atas dasar asas-asas hukum universal baik dalam proses pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses penanaman kesadaran hukum masyarakat.
Lebih lanjut dikemukakan, sebagai salah satu unsur demokrasi, hukum juga harus bisa menjadi landasan bagi suatu pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif, terbangunnya sistem pemilu yang jujur dan adil, perlindungan terhadap HAM dan keberadaan masyarakat yang demokratis dan percaya diri. Hukum juga harus mampu menjamin bahwa para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya secara transparan taat pada rule of law. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dikemukakan, bahwa kekuasaan kehakiman harus bebas dari berbagai pengaruh internal maupun eksternal khususnya dari eksekutif. Administrasi hukum dan peradilan harus transparan terhadap pengawasan publik/ masyarakat dan masyarakat harus memiliki akses yang terbuka untuk mencari dan memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan lembaga-lembaga lain, khususnya terhadap tindakan yang bersifat maladminisration dan kegagalan publik dalam menjalankan tanggungjawab hukumnya.
Instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum merupakan sesuatu yang sulit dihindarkan, karena hukum hanya bisa beroperasi melalui kekuasaan. Dalam kaitan ini yang perlu diusahakan adalah agar hukum tidak terpisah dan menjadi subordinasi ( subordinated ) kekuasan politik, namun menjadi sarana pengintegrasi berbagai kepentingan sehingga hukum bisa menjadi alat pengendali sistem check and balances. Guna menghindarkan diri dari penyalahgunaan hukum sebagai instrumen politik, hanya pemikiran dan asas-asas hukum yang bersifat universal yang bisa dijadikan pedoman atau pengendali. Pemikiran dan asas-asas hukum tersebut menurut pemikiran Muladi meliputi : keberadaan substansi hukum baik materiil maupun formil yang aspiratif (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan internasional) ; kekuasaan kehakiman yang merdeka dan akuntabel, selain perlu pula dikembangkan apa yang dinamakan administrasi peradilan dan penegakan hukum yang merdeka dan akuntabel; promosi dan perlindungan HAM; keterpaduan sistem peradilan; perpaduan tindakan preventif dan represif; perpaduan proses litigasi dan non litigasi; asas non-retroaktif; sistemik dan menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc; pembudayaan saksi ahli; persamaan di muka hukum; legitimasi harus diimbangi dengan kompetensi, akuntabilitas dan keadilan; pendidikan hukum masyarakat harus menjaga antara kesadaran hukum yang bersifat top down dan perasaan hukum spontan masyarakat yang bersifat bottom up; secara proporsional melihat sumber-sumber hukum Internasional sebagai bagian hukum nasional; menghindarkan diri dari miscarriage of justice dan selalu menjaga konsistensi dan keseragaman dalam pengambilan keputusan terhadap peristiwa hukum yang mempunyai karakter yang sama; lingkungan sosial yang kondusif dan demokratis;.kepemimpinan hukum di semua lini yang profesional, berkualitas baik moral maupun intelektual; keberadaan elemen-elemen civil society yang secara komplementer berjuang bersama penguasa untuk merealisasikan supremasi hukum; keberadaan sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum yang terpadu dan dapat menjamin kualitas pengetahuan, ketrampilan dan kepekaan sosial lulusannya serta sikap-sikap profesional yang otonom, ahli, penuh rasa tanggungjawab sosial, taat kepada kode etik dan menghormati kesejawatan; keberadaan “pakar hukum” yang selalu menyerukan kritik dan kebenaran atas dasar kebebasan akademik dan budaya akademik.
Prakondisi seperti diuraikan di atas sepertinya menjadi tantangan demokrasi di masa datang. Khususnya di bidang hukum keberadaan sistem hukum yang demokratis, mampu mendatangkan nilai keadilan, kepastian dan kemanfaatan secara proporsional adalah sangat penting. Hal ini berarti harus ada langkah-langkah reformasi secara integratif yang melibatkan unsur struktur hukum, substansi hukum maupun kultur hukum, sebab ketiganya merupakan sub-sub sistem yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain yang tidak bisa dipikirkan secara fragmented. Pengadilan sebagai lembaga hukum bisa diharapkan memiliki kinerja yang memadai bilamana di back up oleh keberadaan substansi hukum maupun kultur hukum yang kondusif untuk itu. Munculnya sinisme terhadap proses penegakan hukum yang melibatkan lembaga hukum seperti pengadilan bisa bersumber dari tidak adanya sinkronisasi diantara sub-subsistem tersebut di atas.
Menurut Barda Nawawi Arief , reformasi hukum tidak hanya berarti pembaharuan undang-undang atau substansi hukum (legal substance reform) , tetapi juga pembaharuan struktur hukum ( legal structure reform ) dan pembaharuan budaya hukum ( legal culture reform ) yang termasuk di dalamnya juga etika hukum dan ilmu/ pendidikan hukum (legal ethic and legal science/education reform ).Bahkan, dalam situasi krisis saat ini yang terpenting justru pembaharuan aspek immateriil dari hukum, yaitu pembaharuan budaya hukum, etika/moral hukum dan ilmu/pendidikan hukum. Aspek immateriil dari pembaharuan hukum inilah yang seyogyanya lebih diutamakan apabila sasaran utamanya adalah penegakan keadilan. Terlebih hakikat pembaharuan/pembangunan hukum bukan terletak pada aspek formal dan lahiriah (seperti terbentuknya undang-udang baru, struktur kelembagaan dan mekanisme/prosedur baru, bertambahnya bangunan dan sarana/prasarana lainnya yang serba baru ), melainkan justru terletak pada aspek immateriil ini, yaitu membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dari hukum. Di samping itu semua, yang tidak kalah pentingnya adalah reformasi kualitas keilmuan. Menurut Barda Nawawi Arief, peningkatan kualitas keilmuan (antara lain lewat program pendidikan hukum lanjutan /”continuing legal education”, program spesialis, magister/ S2 dan doktor/S3) seyogyanya merata/ menyeluruh pada semua sumber daya manusia ( SDM ), baik di kalangan lembaga pendidikan ( staf dosen ) maupun kalangan lembaga legislatif dan penegak hukum. Pemerataan atau keseimbangan kualitas keilmuan dari orang-orang yang terlibat dalam proses penegakan hukum dan keadilan ini, tentunya juga akan berpengaruh pada bobot/kualitas proses peradilan dan kualitas keadilan/keputusan hukum yang dihasilkan.
Masalah Kepastian Hukum.
Keberadaan hukum dan kepastian hukum bukanlah jaminan bagi tegaknya supremasi hukum dalam arti hukum yang mencerminkan kebutuhan dan memberi kepuasan kepada para pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya.Suatu kenyataan yang sulit dibantah - terutama dimasa modern ini - hukum dibentuk dan dijalankan, dan dipengaruhi kekuasaan (Bentham, Austin, Kelsen, dan lain-lain). Dengan demikian, corak keberadaan (substansi) hukum, dan kepastian hukum tidak pernah terlepas dari struktur dan sistem kekuasan. Suatu struktur dan sistem kekuasaan otoriter akan membawa corak isi hukum dan kepastian hukum sesuai dengan struktur dan corak kekuasan otoriter tersebut. Selanjutnya warna hukum yang tercipta melalui sistem kekuasan tersebut juga akan ikut mewarnai keadaan sosial ekonomi masyarakatnya. Agar hukum sebagai instrumen yang bisa memenuhi kebutuhan dan memberi kepuasan kepada pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya, diperlukan sistem kekuasan yang mendukung atau kondusif bagi supremasi hukum.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepastian Hukum
Selama ini terkesan, pengertian "kepastian hukum" sama dengan hukum dalam arti konkrit (hukum in concreto). Dengan perkataan lain, kepastian hukum hanya nampak pada saat hukum ditegakkan atau diterapkan, sedangkan ketentuan-ketentuan hukum hanyalah petunjuk menuju kepastian hukum. Pendirian ini sejalan dengan pandangan yang menganggap aturan-aturan hukum hanyalah bayang-bayang dari hukum, sedangkan hukum yang sesungguhnya adalah segala peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi atau dialami secara nyata dalam pergaulan masyarakat (legal realism).
Secara penjang lebar Bagir Manan menguraikan, bahwa kepastian hukum tidak hanya mencakup hukum in concreto (pada saat penegakan dan penerapan). Kepastian hukum ditentukan juga oleh tatanan hukum in abstracto. Begitu pula proses peradilan apalagi proses pengadilan bukanlah satu-satunya tempat final menentukan kepastian hukum.Lebih jauh dikatakan oleh beliau bahwa paling kurang, ada lima komponen yang mempengaruhi kepastian hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, pelayanan birokrasi, proses peradilan, kegaduhan politik, dan kegaduhan sosial.
1).Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan dalam uraian ini diartikan secara luas, mencakup ketentuan-ketentuan dalam arti umum, aturan-aturan kebijakan, dan berbagai keputusan konkrit yang mengikat.
Didapati beberapa sebab, peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan atau mempengaruhi kepastian hukum.
a.Aturan-aturan yang sudah ketinggalan (seperti aturan dari masa pemerintahan kolonial atau dari masa kemerdekaan yang dibuat atas landasan yang tidak berlaku lagi). Landasan yang ada pada masa kolonial, sudah pasti tidak berlaku lagi. Grondwet Kerajaan Belanda yang juga berlaku di Indonesia, tidak berlaku lagi sejak 17 Agustus 1945. Hal serupa terjadi setelah kemerdekaan, seperti KRIS atau UUDS 1950 sudah tidak berlaku lagi, tetapi berbagai undang-undang yang dibuat atas dasar dua UUD tersebut misalnya UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan masih berlaku sampai sekarang.
b.Aturan-aturan yang bertentangan satu sama lain atau tumpang tindih, baik isi atau kompetensi yang tidak jelas (misal, antara wewenang pusat dan wewenang daerah).
c.Aturan-aturan "tergantung" tanpa aturan pelaksanaan, sehingga aturan pokok tidak dapat dilaksanakan. Kalaupun dilaksanakan semata-mata atas dasar "aturan kebijakan" (beleidsregels) yang acapkali keliru menerapkan pengertian doelmatigheid dan mengkesampingkan aspek rechtmatigheid. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seolah-olah doelmatigheid atau "asas manfaat" ditempatkan secara bertentangan dengan rechtmatigheid. Memang "asas manfaat" atau doelmatigheid merupakan metode melunakkan ketentuan hukum. Tetapi "asas manfaat" yang digunakan sebagai dasar adalah yang sesuai dengan hukum. Hanya dengan pemahaman seperti itu penerapan hukum akan terhindar dari : the end justifies the means.
Berbagai aturan yang bertentangan satu sama lain, tumpang tindih, banyaknya aturan yang berdasarkan beleid, sangat mempengaruhi kepastian hukum dan mudah menimbulkan penyalahgunaan wewenang atau tindakan sewenang-wenang. Adanya berbagai aturan yang bertentangan atau tumpang tindih satu sama lain atau telah usang, menimbulkan gagasan agar penerapan hukum tidak hanya bertolak dari legal justice, dalam arti hanya berdasarkan atas "bunyi" kaidah hukum yang bersangkutan. Hukum diterapkan menurut harapan masyarakat, rasa keadilan masyarakat dan sebagainya. Pandangan mengenal "legal justice" dalam ilmu hukum bertolak dari ajaran yang memisahkan antara aturan hukum dengan soal-soal etik (moral) dan keadilan (Kelsen: Reine Rechtsslehre, the Pure Theory of Law). Dalam pandangan yang umum, hukum itu tidak dapat dipisahkan dari etik dan keadilan. Bahkan ada yang menyatakan, hukum yang baik, bersumber dari moral (Hart). Karena itu sudah semestinya, setiap penerapan hukum dengan sendirinva mengandung tuntutan moral dan keadilan. Tetapi kalau semata-mata menggunakan pertimbangan keadilan dan moral, penerapan hukum menjadi subyektif dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Karena itu, betapa penting suatu usaha nasional yang sungguh-sungguh untuk menata peraturan perundang-undangan, bukan sekedar membuat yang baru, apalagi tambal sulam. Akan bertentangan dengan tugas universal, kalau hakim dituntut mengenyampingkan hukum atas nama keadilan. Hakim dimanapun harus memutus menurut hukum. Keadilan yang harus ditemukan hakim adalah keadilan menurut hukum.
2).Proses Birokrasi
Birokrasi atau administrasi negara sangat besar pengaruhnya terhadap kepastian hukum, karena disinilah tempat sehari-hari hukum menjelma dalam keadaan konkrit dalam berbagai bentuk pemberian pelayanan hukum kepada masyarakat, seperti perizinan, pengakuan atas status atau perubahan status (pengesahan), pemenuhan kewajiban melalui administrasi negara (membayar pajak), dan lain-lain pelayanan umum. Berbagai keluhan mengenai pelayanan hukum investasi bermula pada pelayanan birokrasi, tidak pada peradilan. Sebab tidak semua keluhan investasi menjadi sengketa di pengadilan. Dalam kaitan ini, ada kesan bahwa, walaupun reformasi dapat dikatakan telah tnelanda begitu banyak segi kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain, tetapi birokrasi praktis belum tersentuh. Tingkah laku birokrasi terkesan masih sama dengan di masa-masa lalu yaitu lamban, (tidak efisien), tidak cekatan, termasuk KKN. Bahkan ada yang menyampaikan sinyalemen (belum tentu benar), KKN tetap terjadi tanpa perubahan. Ditinjau dari fungsi service state, birokrasi semestinya menjadi ujung tombak good governance yang dicita-citakan.
3).Proses Peradilan
Telah menjadi pengetahuan umum - karena itu tidak perlu ditutup-tutupi - dunia peradilan menjadi salah satu komponen yang mempengaruhi kepastian hukum. Tetapi perlu disadari lebih dalam, bahwa proses peradilan adalah sebuah sistem (integrated system). Hakim bukanlah komponen tunggal dalam proses peradilan. Dalam perkara perdata, tersangkut pihak-pihak (parties) dan penasihat hukum. Dalam perkara pidana tersangkut penyelidik, penyidik, penuntut, hakim, advokat, dan terdakwa. Segala bentuk hubungan kolusif atau penyuapan, dapat terjadi dalam semua tahap atau tingkat hubungan sistem tersebut. Dan semuanya dapat menjadi sumber ketidakpastian hukum. Berbagai surat yang masuk ke Mahkamah Agung dan opini mengenai perkara yang "membeku" pada tingkat penyidikan, atau dakwaan yang lemah atau dilemahkan, dakwaan atau putusan yang tidak konsisten, merupakan sumber ketidakpastian hukum. Demikian pula tingkah laku pihak-pihak dan pengacara juga mengundang ketidakpastian hukum.
Khusus mengenai putusan hakim dan pengamatan sementara ada beberapa faktor pokok yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertama, kompetensi (pengetahuan dan keterampilan) yang rendah. Pengetahuan dan keterampilan hakim yang tidak memadai mengenai suatu obyek perkara atau proses beracara, dapat menimbulkan kegaduhan atas suatu putusan, dan ketidakpastian hukum. Kedua; integritas, antara lain ketidaksanggupan hakim mempertahankan posisi tidak memihak (impartiality), baik karena faktor korupsi, kolusi, atau nepotisme atau sebab-sebab lain seperti "tidak tahan terhadap tekanan yang menimbulkan rasa takut", atau kepentingan tertentu, atau karena didorong oleh suatu balas budi. Ketiga; penyalahgunaan makna "kebebasan hakim", sebagai cara menyembunyikan keberpihakan, atau tindakan sewenang-wenang. Keempat penyelenggaraan peradilan yang tidak efisien sehingga menimbulkan berbagai bentuk delay. Hal ini tidak selalu timbul karena dorongan subyektif (sengaja perlambat-lambat untuk mendapat imbalan), juga timbul karena kondisi objektif seperti minimnya fasilitas kerja di pengadilan. Faktor kedua dan ketiga (integritas dan penyalahgunaan kebebasan hakim) ditutupi dengan pendekatan legalistik belaka, yaitu hanya menerapkan hukum sebagai teks bukan hukum sebagai sebuah pengertian (begrip).
4)Kegaduhan Politik
Berbagai kegaduhan politik - baik pada tingkat supra struktur maupun infra struktur dalam berbagai hal mempengaruhi kepastian hukum. Memang kegaduhan itu tidak langsung mengenai kepastian hukum. Tetapi dengan kegaduhan-kegaduhan politik yang terus menerus menimbulkan citra yang kurang baik dalam penegakan dan penerapan hukum. Disana sini terjadi percampuradukan antara persoalan politik dan persoalan hukum. Berbagai masalah hukum acapkali menjadi kompleks karena diisi dengan berbagai muatan politik. Kita menjadi bangsa yang begitu polemis. Tidak ada peristiwa yang tidak menjadi ajang atau tidak ditarik-tarik untuk menjadi polemik dengan memanfaatkan kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara, kebebasan unjuk rasa dan lain sebagainya. Dalam polemik, kita tidak lagi sekedar menggunakan hak berbeda pendapat, tetapi acapkali terjebak pada pendekatan konflik yang bertolak dari pandangan salah dan benar. Hak berbeda pendapat semestinya tidak bertolak dan yang benar dan yang salah, tetapi suatu bentuk konsiliasi untuk menemukan yang paling benar diantara berbagai kebenaran. Kegaduhan-kegaduhan politik - apalagi disertai dengan pendekatan konflik - akan menimbulkan berbagai suasana suram termasuk penegakan hukum untuk mewujudkan kepastian hukum. Kegaduhan politik makin bertambah karena kegiatan politik tidak lagi, terstruktur. Setiap orang, setiap kelompok berpolitik. Lembaga bantuan hukum dalam berbagai peristiwa termasuk yang terjebak dalam berbagai persoalan politik, baik karena tuntutan objektif, maupun karena dorongan subyektifitas yang berlebihan.
5). Kegaduhan Sosial
Acapkali kita mendengar: "Mengapa bangsa Indonesia yang dikenal lembut dan sopan, mendadak menjadi beringas, susah diatur?". Ada berbagai sebab kegaduhan sosial. Pertama, frustasi sosial, baik karena kesulitan pribadi maupun sistem kekuasaan yang dianggap tidak memberi manfaat baik untuk keamanan, ketentraman, maupun kesejahteraan. Kedua; peran kekuatan sosial tertentu yang memanfaatkan frustasi sosial untuk mencapai tujuan atau sebagai metode bahkan alat perlawanan terhadap keadaan atau sistem tertentu. Hal ini dilakukan dengan membangkitkan berbagai sentimen sosial, hak asasi, hak memperoleh pekerjaan dan lain-lain. Salah satu wujud kegaduhan sosial adalah pembangkangan umum terhadap aturan hukum seperti sistem lalu lintas, penggunaan tempat berniaga, dengan berbagai alasan seperti hak untuk bekerja, kebebasan bergerak dan lain sebagainya. Keadaan menjadi lebih rumit karena pembangkangan ini mendapat "bantuan" yang bersifat KKN dari mereka yang semestnya menjaga ketertiban atau menjalankan pemerintahan yang baik. Bagi para penggerak, pembangkangan ini merupakan metode perlawanan terhadap establishment atau siapapun yang harus "ditaklukkan" atau dikoreksi secara radikal. Kita harus berhati-hati- menggunakan metode kerja ini. Selain menimbulkan ketidakpastian, rasa takut dan lain-lain kecemasan, kalau melebihi takaran kendali, akan menimbulkan berbagai masalah baru dari sekedar melepaskan frustasi dan metode perlawanan. Perlu disadari, dimanapun, tidak mungkin hukum hanya dilihat sebagai kemudahan atau sekedar untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan. Hukum juga mengandung dimensi ketertiban. Tanpa ketertiban, bukan saja tidak ada kepastian tapi akan sangat merugikan kepentingan orang banyak dan dapat menuju anarki sosial. Seperti diutarakan terdahulu, ketertiban merupakan unsur hak asasi yang tidak dapat diabaikan. Hukum merupakan sarana objektif memelihara dan menegakan ketertiban. Dari uraian sederhana di atas, masalah kepastian hukum (demikian juga penegakan hukum) bukan semata-mata persoalan hukum, tetapi juga persoalan kekuasan, persoalan sosial. Dimanapun di dunia ini', kepastian hukum, ketertiban hukum tidak pernah semata-mata diandalkan kepada penyelenggara hukum. Tidak kalah penting adalah kesadaran kekuasaan dan kesadaran sosial dan kemanusiaan itu sendiri.
Kelemahan Sistem Litigasi
Selama beberapa dekade, pengadilan sebagai salah satu pranata dari sistem hukum modern telah mendapat kepercayaan dari masyarakat dunia. Hal ini disebabkan dalam masyarakat, melalui hukum positif yang telah diundangkan oleh semua negara di dunia, telah tercipta suatu pendapat umum bahwa lembaga peradilan merupakan suatu mekanisme yang disediakan negara untuk menyelesaikan sengketa. Disamping itu, alasan yang mendorong masyarakat menyelesaikan sengketanya ke pengadilan adalah :
1. Kepercayaan, bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki.
2. kepercayaan, bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya.
3. bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia.
4. bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum.
Persoalan yang muncul adalah bahwa dalam kenyataannya kepercayaan masyarakat yang telah melembaga tersebut tidak selalu mendapat respon yang memadai dari lembaga pengadilan, karena output pengadilan yang berupa keputusan-keputusan seringkali jauh dari harapan pencari keadilan bahkan tidak sedikit yang justru semakin menjauhkan masyarakat dari keadilan. Alhasil kredibilitas lembaga pengadilan semakin mendekati titik nadir. Belum lagi kalau kita melihat aspek pengadilan ini dari sudut pandang ekonomi yaitu dari aspek efisiensi dan efektivitas, sampai hari ini masyarakat tidak pernah mendapat kepastian tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh pengadilan untuk menyelesaikan sengketa.
Banyak masalah yang akan dihadapi manakala kita mengandalkan pengadilan sebagai ujung tombak perubahan hukum, khususnya jika yang kita inginkan adalah hasil langsung dan nyata dari putusan pengadilan tersebut, karena upaya lewat pengadilan untuk mengubah hukum akan lebih memberikan hasil yang tidak langsung, seperti publikasi perubahan tersebut ke masyarakat, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan perlunya perubahan, dan sebagainya yang dapat dipakai untuk memperkuat upayanya yang nonlitigasi. Misalnya, memaksa pihak lawan untuk duduk ke meja perundingan, sebagaimana terlihat dalam kutipan berikut ini:
" Social-reform group find it difficult to optain tangible results directly from law-reform activity. It can be accomplished, ... but, on the whole, special circumtances are needed ... most important controversies ... are not amenable to this kind of solution. Instead, they require hard-fought, long-term battles. The judicial process is best suited to resolve discrete disputes between two parties .... But, of course, there is a great deal more to the story than seeking tangible benefits directly from law-reform activities" .

Beberapa akibat/hasil tidak langsung yang terjadi dari adanya pembaruan hukum lewat litigasi pengadilan adalah sebagai berikut:
1.Digunakan sebagai alat tambahan dari tindakan-tindakan nonlitigasi.
2.Untuk publikasi, fund raising, menambah kesadaran dan penghayatan terhadap perlunya perubahan serta memberikan legitimasi terhadap masalah yang sedang dibicarakan dan perubahan yang diharapkan. Tentang fungsi fund raising, kenyataan menunjukkan bahwa terhadap suatu masalah yang sudah dikuatkan oleh pengadilan biasanya penyandang dana akan lebih cenderung untuk membantu dananya.
Perubahan masyarakat yang didahului oleh perubahan hukum/peraturan perundang-undangan biasanya didahului oleh keinginan-keinginan dalam masyarakat yang berkepentingan untuk mengubah hukum/peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya, apabila perubahan hukum tersebut berhasil dilaksanakan, akan berakibat pada berubahnya pola pikir dan sikap masyarakat tersebut.Akan tetapi, perubahan hukum yang bersangkutan tidak selamanya persis sama seperti yang dinginkan oleh masyarakat/kelompok masyarakat/organisasi masyarakat yang mendorong dilakukannya perubahan hukum tersebut. Berbagai kemungkinan dapat terjadi, yaitu sebagai berikut:
1.Hukum benar-benar berubah, seperti yang diinginkan oleh masyarakat (full compliance).
2.Hukum mempertajam persepsi perubahan dalam masyarakat.
3.Hukum hanya melakukan ratifikasi terhadap perubahan yang telah benar-benar terjadi dalam masyarakat.
4.Hukum berubah, tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor berikut:
- Keengganan dari otoritas pembentuk/pengubah hukum untuk menyerap sepenuhnya aspirasi masyarakat.
- Pengaruh pendapat publik yang muncul ke permukaan yang tidak selamanya identik dengan keinginan masyarakat.
- Pengaruh perjalanan waktu di mana keinginan masyarakat kemudian telah berubah seperti yang diputuskan/dipikirkan oleh pembentuk hukum/undang-undang atau pengadilan.
Meskipun pihak pembentuk hukum/undang-undang dan pengadilan berusaha untuk mengubah atau berpikir untuk mengubah hukum yang ada, boleh jadi hasilnya tidak seperti yang diinginkan oleh masyarakat atau tidak seperti yang tersebut dalam opini publik di mana hasil dari perubahan tersebut bisa lebih baik atau bahkan lebih buruk dari apa yang diinginkan oleh masyarakat tersebut.


Urgensi Lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif.
Keberadaan lembaga penyelesaian sengketa alternatif , di Indonesia telah mulai dikaji secara mendalam sebagai salah satu cara menyelesaikan sengketa hukum khususnya di bidang bisnis. Sejarah perundang-undangan mencatat pada tahun 1999 telah lahir Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa. Lahirnya produk hukum tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini bagaimanapun telah menandai munculnya paradigma baru dalam dunia hukum di Indonesia.
Pada umumnya setiap terjadi sengketa hukum khususnya di bidang bisnis terdapat dua cara guna menyelesaikannya. Adi Sulistiyono menyebut terdapat dua pendekatan yaitu pendekatan pertama menggunakan paradigma litigasi, yaitu suatu pendekatan untuk mendapatkan keadilan melalui sistem perlawanan (the adversary system) dan menggunakan pakasaan (coercion) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Sedangkan pendekatan yang kedua, menggunakan pendekatan non-litigasi. Pendekatan ini dalam mencapai keadilan lebih mengutamakan pendekatan konsensus dan berusaha mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk merndapatkan hasil penyelesaian sengketa win-win solution.
Beberapa Proses Dalam ADR.
Beberapa prose dalam ADR adalah sebagai berikut :
1. Negosiasi
Hakikat sebuah negosiasi adalah komunikasi dan tawar menawar (bargaining), jadi dalam proses megosiasi ini terlibat dua pihak atau lebih yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan. Menurut Fisher dan Ury, ada dua pendekatan fundamental dalam proses negosiasi. Pertama, positional bargainer yaitu negosiator yang sangat radikal untuk mencapai suatu target dalam bernegosiasi karena mereka sadar bahwa posisinya berada di atas angin. Memulai penyelesaian perkara dengan suatu penawaran dan solusi bersaman dengan permintaan sesuatu hal tertentu. Meyakinkan pihak lain bahwa solusi mereka yang adalah yang terbaik dari kemungkinan yang ada. Sasarannya adalah menang, memaksimumkan keuntungan, menghindari kompromi, berusaha sedikit mungkin untuk memberi dan selalu menawar pada titik yang terendah. Pendekatan yang dipergunakan oleh negosiator ini adalah untuk sasaran jangka pendek yang tidak mengharapkan hubungan berkelanjutan, oleh karena itu model pendekatan ini sangat berpotensi mwnghilangkan kepercayaan (trust). Kedua interest based negotiation ialah negosiasi yang mengutamakan kepuasan para pihak adalah solusi yang terbaik . Dasar dari prinsip negosiasi yang mereka pergunakan adalah menonjolkan kebersamaan dalam menyelesaiakan konflik daripada kesempatan mencapai kemenangan di satu pihak dengan cara mempertemukan kepentingan masing-masing. Sasaran mereka adalah menemukan suatu solusi yang saling memuaskan, memaksimumkan keuntungan para pihak, tercapainya suatu komnpromi adalah yang terbaik dari semua pilihan. Kepentingan mereka tercapai tetapi diterima oleh pihak lain dan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang lain sampai solusi yang terbaik disetujui bersama. Pendekatan yang digunakan oleh negosiator yang kedua ini adalah pendekatan untuk sasaran jangka panjang dimana unsur kepercayaan dalam suatu hubungan tetap eksis, sehingga keinginan bekerjasama pada masa yang akan datang mudah terwujud kembali.
2. Mediasi.
Mediasi adalah suatu proses dimana para pihak secara bersama-sama dengan dibantu oleh mediator atau penengah beruaha mengisolasi perkara agar dapat mengembangkan dan mempertimbangkan pilihan-pilihan dalam mencapai kesepakatan yang pada akhirnya dapat mengakomodasi kepentingan mereka masing-masing. Mediator dalam hal ini berfungsi mengontrol dan mengatur jalannya proses mediasi, peranan mediator di sini adalah sebagai berikut :
a. secara sistematis berusaha mengisolasi issue-issue dalam konflik agar tidak melukai para pihak dimana jika proses negosiasi tidak berhasil, para pihak masih dapat didorong menyelesaikan konfliknya dalam bentuk lain seperti arbitration;
b. mengembangkan dan mencari berbagai kemungkinan yang dapat menyelesaikan konflik;
c. mencari kesepakatan yang dapat mengakomodasi kepentingan masing-masing.
Dalam proses mediasi ini masing-masing pihak telah mempunyai advokat sebagai penasihat hukum yang bertugas mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, membantu klien bernegosiasi secara efektif, memberi nasihat dan pandangan secara hukum dan merancang syarat dan kondisi dalam setiap dokumen-dokumen atau kesepakatan apapun yang tercapai. Jadi dalam proses mediasi ini mediator tidak termasuk memberikan konsultasi hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam proses mediasi selalu ada resiko yang selalu mendominasi yang menurut Gregory Tillet adalah akibat dari :
a. Power imbalance, adanya ketidakseimbangan kekuatan pada salah satu pihak yang dapat menimbulkan kekhawatiran;
b. Coercion, adanya penggunaan ancaman dan kekerasan oleh salah satu pihak ;
c. Lack of skill, kurang cakap dalam berpartisipasi secara efektif;
d. Trauma, mengalami peristiwa buruk selama atau sebelum proses mediasi;
e. Conflict escalation, konflik akan meluas disebabkan adanya ekspresi pendapat atau perasaan berlebihan;
f. Position entrenchment, para pihak berpandangan bahwa proses mediasi adalah suatu pertempuran dimana mereka harus berdebat dan sekuat-kuatnya mempertahankan posisi sehingga akhirnya terbentuk kubu-kubuan;
g. Injustice, karena mediasi dilakukan secara tertutup maka mungkin saja solusi yang diambil menguntungkan para pihak tapi sesungguhnya merugikan kepentingan umum;
h. Misuse of process, proses mediasi disalahgunakanoleh salah satu pihak dengan pura-pura berpartisipasi agar terlihat dapat bekerjasama mencari solusi tetapi sesungguhnya berusaha menggagalkan setiap solusi yang akan dicapai. Karena tujuan mereka berpartisipasi hanya untuk mendapatkan dan mengetahui informasi penting dan argumentasi lawan selanjutnya akan mereka gunakan pada proses persidangan di pengadilan;
i. Dangerous disclosure, mediasi mendorong keterbukaan para pihak, tetapi mungkin saja salah satu pihak terpancing membuka informasi pribadinya yang sangat sensitif di kemudian hari dapat digunakan pihak lain untuk mempermalukan.
3. Konsiliasi (Conciliation).
Konsiliasi adalah suatu proses penyelesaian perselisihan atau konflik berdasarkan konsensus para pihak untuk bertemu dengan konsiliator dalam rangka membahas kemungkinan-kemungkinan penyelesaian yang dapat diterima masing-masing. Jadi dalam proses konsiliasi ini, konsiliator harus memberikan masukan-masukan, dan rumusan yang dapat dipertimbangkan para pihak untuk dijadikan penyelesaian, dengan demikian peranan konsiliator ini bersifat aktif.
4. Fasilitasi ( Facilitation).
Fasilitasi lebih dibutuhkan dalam suatu perkara yang melibatkan lebih dari dua pihak (multi party). Dalam hal ini dibutuhkan pihak ketiga sebagai fasilitator untuk membantu pihak yang berperkara mencari jalan keluar bersama-sama untuk menyelesaikan perkara mereka. Dalam hal ini fasilitator hanya memberikan fasilitas seperti penghubung, penterjemah, sekretariat bersama, tempat pertemuan, yang semuanya itu dalam rangka membangun komunikasi yang efektif sehingga para pihak menemukan kesepahaman dalam penyelesaian perkara mereka.
5. Proses Penilaian Independen (Independent Expert Appraisal).
Dalam proses ini penilai independen sebagai pihak ketiga yang tidak memihak dan bekerja memberikan pendapat atas fakta-fakta yang ada dalam perkara. Pihak-pihak berperkara menyetujui pendapat penilai independen menjadi suatu keputusan final dan mengikat semua pihak. Sehingga penilai independen ini selain mempunyai peranan investigasi tetapi juga pembuat keputusan. Bisa juga pihak-pihak yang bersengketa itu menjadikan saran atau pendapat dari penilai independen sebagai bahan pertimbangan dalamnegosiasi selanjutnya. Pendapat penilai independen dihasilkan berdasarkan penilaian profesional oleh suatu profesi yang berkaitan dengan issue-issue dalam perkara. Misalnya perkara yang timbul atas tidak diterimanya suatu pekerjaan konstruksi dari suatu bangunan karena salah satu pihak menganggap tidak memenuhi persyaratan atau standar umum yang berlaku. Untuk mencari penyelesaiannya para pihak setuju menunjuk konsultan konstruksi independen untuk melakukan penilaian secara profesional. Dalam kaitan ini para pihak bersengketa harus menyetujui hal-hal yang perlu dimintakan pendapat penilai independen, cara penunjukan penilai, prosedur dalam memberikan informasi relevan kepada penilai sebagai bahan investigasi. Di lain pihak penilai independen juga harus mengungkapkan metode dan prosedur yang mereka gunakan dalam penilaian.
6. Proses Arbitrase.
Arbitrase adalah suatu penyelesaian perkara oleh seorang atau beberapa arbiter (hakim) yang diangkat berdasarkan persetujuan para pihak dan disepakati bahwa putusan yang diambil arbiter bersifat mengikat dan final. Ciri-ciri arbitrase adalah :
a. sukarela;
b. memilih sendiri arbiternya;
c. menerima, tunduk pada putusan;
d. putusan bersifat mengikat dan final.
Dalam praktek ruang lingkup arbitrase adalah khusus hanya sebatas perkara bisnis, sehingga hal-hal lain dalam hukum perdata seperti perkara perceraian, perburuhan, warisan dan lain-lainya tidak dapat diajukan pada arbitrase.
Arbitrase ada dua macam yaitu arbitrase ad hoc dan arbitrase institusional (permanen). Arbitrase ad hoc adalah arbitrase yang dipilih sendiri oleh para pihak hanya untuk suatu perkara tertentu. Jika perkara itu selesai dengan suatu putusan, maka selesai pulalah tugasnya, arbitrase ini bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitrase institusional adalah arbitrase yang telah dilembagakan dan bersifat permanen. Arbitrase ini secara resmi telah mempunyai peraturan dan tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan dan persidangan secara nasional. Contoh arbitrase institusional adalah Badan Arbirase Nasional Indonesia atau BANI. Menyelesaikan perkara dalam proses ADR, harus didahului dengan suatu investigasi untuk mengumpulkan informasi sebagai dasar analisa berupa dokumen-dokumen yang berasal dari internal maupun eksternal, wawancara dan para saksi dan para ahli dengan memperhatikan :
a. adequate information, informasi yang cukup memadai;
b. identifying the perception of the parties, mengenali pandangan para pihak baik secara positif dan negatif;
c. identifying the needs of the parties, mengenali keinginan maksimum dan minimum para pihak;
d. identifying the positions of the parties, mengenali posisi pro dan kontra para pihak;
e. evaluating the capacity of the parties, menilai kapasitas para pihak;
f. identifying relevant external factors, menilai pengaruh luar yang relevan.
Hasil investigasi setidaknya harus bisa menghasilkan sebuah analisa yang dapat meliputi hal-hal seperti apa yang menjadi perkara?, siapa saja yang terlibat? bagaimana kronologi terjadi perkara? Dan adakah hal-hal yang perlu dikhawatirkan dalam penyelesaiannya.
Keunggulan ADR Dibanding Forum Pengadilan.
Forum ADR lebih tepat atau sesuai untuk perkara yang berkaitan dengan hubungan isnis karena mekanisme ADR dalam menyelesaikan perkara didesain efektif dan efisien serta memberikan peluang para pihak untuk dapat mengendalikan proses dan hasil putusannya. David dan Cavanagh menyebutkan alasan-alasan keunggulan mekanisme ADR sebagai berikut :
a. The parties have nothing to lose, para pihak tidak merasa kehilangan muka
b. The process can be as fast as the parties want, proses dapat dipercepat atas dasar keinginan para pihak;
c.Less expensive than litigation, biayanya lebih murah daripada forum pengadilan;
d.The parties can walk out at any time, para pihak dapat menghentikan proses setiap saat;
e.The proceedings and their contents are entirely confidential, proses persidangan dan segala isinya dijaga kerahasiaan;
f. The outcome has no precedential value, putusan tidak menjadi suatu preseden;
g. The parties choose the third party neutral, para pihak dapat memilih pihak ketiga yang tidak memihak;
h. There is “hearing” certainty in terms of date with no frustrating adjournments, adanya kepastian jadwal tanpa adanya penundaan;
i. The relationship between the parties is likely to be enhance, proses justru akan memperkuat hubungan para pihak;
j. There are more avaliable remedies, ada banyak kemungkinan car pemulihan.
k.The parties can determine their own procedure, para pihak dapat menentukan sendiri prosedur penyelesaian yang akan digunakan;
l. The parties retain control, para pihak mengendalokan jalannya proses penyelesaian;
m.The processes are likely to facilitiate an early settlement, proses memudahkan perkara diselesaikan lebih awal;
n. Nothing is wasted and if the process does not lead a satifactory and litigation follow, tidak ada yang mubazir walaupun tidak tercapainya keputusan yang memuaskan, informasi yang telah terkumpul dapat digunakan pada proses litigasi selanjutnya;
o. The processes encourage a narrowing of the issues in dispute, proses mendorong pembahasan isu-isu perkara yangpaling pokok;
p.The processes encourage a clarifying the issues in disputes, proses mendorong para pihak memberikan klarifikasi terhadap isuyang diperselisihkan;
q.Neither party need expose evidence that it wishes to remain concealed from the other side, tidak diperlukan mengungkapkan bukti yang ingin tetap disimpan;
r.Parties can demonstrate their belief in the strength of their own case, para pihak dapat menunjukkan dalil atau keyakinan dalam perkara mereka;
s. Processes promote win-win solutions, proses dapat menghasilkan keputusan yang saling menguntungkan para pihak;
t. The process suitable for resolving multy party dispute, proses sesuai untuk konflik yang melibatkan lebih dari dua pihak;
u. Complex issues can be raised and dealt with, isu-isu yang rumit sekalipun dapat diajukan untuk diselesaikan;
v. Processes allow finality in the resolution of the dispute, proses memungkinkan penyelesaian tuntas;
w. Eliminate fear, menghilangkan rasa kekhawatiran;
x. Wider issues can be taken into account, meluasnya isu-isu dalam perkara dapat dikendalikan.
y. Settlement that are commercially sound and viable can be reached, penyelesian secara komersil dan terbuka dapat dicapai; dan
z. The parties retain their credibility, para pihak dapat mempertahankan kredibilitas mereka.
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disarikan hal hal sebagai berikut :
1.Upaya mencapai visi Indonesia 2030 memerlukan dukungan lembaga penyelesaian sengketa yang memadai. Dari sisi hukum diperlukan lembaga hukum yang bisa dipercaya mampu mendatangkan nilai kepastian,keadilan dan juga kemanfaatan secara proporsional, hal ini harus dimulai dari pembenahan sistem hukum mulai dari segi struktur, substansi maupun kultur hukum.
2.Pengadilan sebagai lembaga hukum yang secara nyata menjadi garda terdepan untuk tercapainya nilai-nilai keadilan, kemanfatan dan kepastian hukum harus mampu menampilkan kinerja yang bisa dipercaya oleh masyarakat bahkan oleh dunia Internasional.
3. Mengingat kelemahan umum yang ada pada lembaga pengadilan sendiri dan juga mengingat kompleksitas persoalan yang harus dihadapi khususnya menyangkut perkembangan bidang perekonomian/bisnis, maka sarana non litigasi melalui mekanisme Alternative Dispute Resolution harus juga menjadi pilihan, karena secara teoretis dan praktis akan lebih menguntungkan.
















Daftar Pustaka.

Adi Sulistiyono,2006, ‘Mengembangkan Paradigma Non Litigasi Di Indonesia’ UNS Press, Surakarta.

Adi Sulistiyono, 2005 Krisis Lembaga Peradilan Di Indonesia, LPP UNS : Surakarta

Bagir Manan, 2005, Sistim Peradilan Berwibawa ( Suatu Pencarian), UII Press : Yogyakarta.

Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ismail Saleh, Hukum dan Ekonomi, 1990, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, halaman xii.

Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, cet. Pertama, The Habibie Center, Jakarta.

Satjipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Masyarakat, Angkasa: Bandung

Harian Solo Pos, Selasa 20 November 2007.

Yudha Pandhu, 2004, Klien dan Advokat Dalam Praktek, Indonesia Legal Publishing, Jakarta.

Sabtu, 13 Februari 2010

Perkembangan Kejahatan dan Peradilan Pidana

PERKEMBANGAN KEJAHATAN DAN PERADILAN PIDANA
Oleh :
Supriyanta
Abstrak

Perkembangan kejahatan dewasa ini tidak lagi hanya sebatas teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas teritorial dan bahkan sudah menimbulkan dampak terhadap dua negara atau lebih serta sudah memiliki lingkup dan jaringan internasional. Peradilan pidana berdasarkan KUHAP Tahun 1981 harus mampu menjadi suatu sistem yang mampu menjadi landasan hukum guna mengantisipasi perkembangan kejahatan yang semakin canggih.

Kata Kunci : Kejahatan, Sistem Peradilan Pidana

A.Pendahuluan
Kejahatan merupakan masalah sosial yang tidak hanya dihadapi oleh Indonesia atau masyarakat dan negara tertentu, tetapi merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia. Kejahatan sebagaimana dikatakan oleh Saiichiro Uno merupakan suatu unversal phenomena, tidak hanya jumlahnya saja yang meningkat tetapi juga kualitasnya dipandang serius dibanding masa-masa lalu (Barda Nawawi Arief, 1994 :11).Lebih dari itu para ahli juga mengatakan disamping merupakan masalah yang universal juga berlangsung terus menerus seperti dikatakan oleh para ahli hukum Alan Cofey, Edward Eldefonso dan Walter Hartinger dengan ungkapan kalimat “There has been a civilized society that did not find itself continually with crime” (Alan Cofey, Edward Eldefonso dan Walter Hartinger, 1982 : 81).
Problema kejahatan dan cara penanggulangannya selalu saja dihadapi oleh setiap negara apapun bentuk dan sistem hukumnya. Mulai dari street crime seperti pembunuhan, perampokan, penganiayaan dan sebagainya sampai pada apa yang disebut sebagai white collar crime atau yang dikenal dengan istilah kejahatan kerah putih seperti korupsi, kejahatan perbankan dan sebagainya. Apapun jenis dan bentuknya, kejahatan selalu menimbulkan reaksi yang keras dari masyarakat (John E Conclin,1975 :2). Bahkan masalah kejahatan kini semakin membutuhkan peranan dari ahli-ahli kriminologi untuk memberikan kontribusi pemikirannya dalam rangka pencegahan kejahatan.Cara-cara penanggulangan kejahatan terlebih di bidang bisnis yang selama ini cenderung hanya terfokus pada kejahatan yang dilakukan oleh korporasi kini telah mulai dipikirkan tentang cara-cara pencegahan yang berorientasi pada usaha mencegah atau mengurangi kesempatan untuk terjadinya kejahatan (Marcus Felson and Ronald V. Clarke, 1997: vii).
Angka statistik kriminal menunjukan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh terjadinya kejahatan. Angka-angka tersebut pun belum tentu aktual karena kemungkinan banyak pula kejahatan yang tidak dilaporkan ke polisi seperti misalnya kasus pemerkosaan mempunyai angka gelap (dark number) yang tinggi disebabkan karena banyak keluarga atau korban yang merasa malu untuk melaporkan kasusnya ( Mohammad Hatta,2008 :43).
Angka gelap atau dark number adalah jumlah kejahatan yang tidak terungkap karena berbagai sebab, diantaranya adalah karena dalam banyak kasus ketika kejahatan terjadi aparat peradilan pidana tidak merespon secara keseluruhan. Proses peradilan pidana secara normal mulai beroperasi hanya ketika kejahatan telah dilaporkan kepada polisi sebagaimana dikatakan oleh Michael Cavadino dan James Dignan bahwa :
“In many cases when a crime is committed, the agencies of criminal justice never respond at all. For the criminal justice process normally start to operate only when a crime is reported to the police, and by no means all crimes are reported” ( Michael Cavadino and James Dignan, 2002 :1)
Reaksi Masyarakat Atas Kejahatan
Perkembangan kejahatan dewasa ini tidak lagi hanya sebatas teritorial suatu negara melainkan sudah melampaui batas teritorial dan bahkan sudah menimbulkan dampak terhadap dua negara atau lebih serta sudah memiliki lingkup dan jaringan internasional. Perkembangan kejahatan internasional sudah menjadi perhatian masyarakat internasional terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam hal ini dirasakan semakin penting perlunya kerjasama internasional secara efektif berkenaan dengan masalah-masalah kejahatan nasional dan transnasional.
Sejalan dengan perkembangan kejahatan di atas, maka upaya penanggulangan kejahatan melalui instrumen hukum pidana juga mengalami perkembangan. Sistem peradilan pidana telah ada sepanjang awal peradaban manusia (The United Nations and Crime Prevention, 1991 : 1).
Abdur R. Khandaker dalam kaitan ini menyatakan bahwa kejahatan ditemukan atau ada di semua kultur atau budaya, dan setiap masyarakat menghasilkan mekanisme atau cara untuk mengendalikan atau membasmi kejahatan ini. Dikatakan bahwa cime is found in all cultures, and each society has generated mechanism to control or eradicate it ( Abdur R. Khandaker, 1982 :105)
Globalisasi yang oleh para ahli ekonomi dan bisnis didefinisikan sebagai “the activities of multinational enterprises engaged in foreign direct investment and the development of business networks to create value across national borders” (Alan Rugman, 2000: 4) telah menambah maraknya variasi bentuk kejahatan yang semakin membutuhkan perhatian yang serius dari para ahli pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.
Secara historis sebelum lahirnya pendekatan sistem, dikenal apa yang disebut sebagai pendekatan hukum dan ketertiban atau “law and order approach” yang bertumpu pada asas legalitas. Namun pendekatan hukum dan ketertiban ini dalam praktek ternyata menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian, yaitu di satu sisi penggunaan hukum sebagai instrumen ketertiban dimana hukum pidana berisikan perangkat hukum untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat dan penggunaan hukum pidana sebagai pembatas bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, dengan kata lain hukum pidana bertugas melindungi kemerdekaan individu dalam kerangka suatu sistem ketertiban masyarakat (Romli Atmasasmita, :1996:6).
Dalam kenyataannya pendekatan hukum dan ketertiban ini telah mengalami kegagalan terutama dalam menekan angka kriminalitas terutama di Amerika Serikat sehingga muncul gagasan pendekatan sistem atau system approach di dalam mekanisme administrasi peradilan pidana. Pendekatan ini dalam teori kriminologi dan prevensi kejahatan dikenal sebagai “criminal justice system model” (Romli Atmasasmita, :1996 : 7)
Peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut meliputi aktivitas yang bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan hakim yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan. Proses yang bekerja secara berurutan tersebut pada dasarnya menuju pada suatu tujuan bersama yang dikehendaki. Keseluruhan proses itu bekerja di dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan subsistem yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi antara satu dengan yang lain.
Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi atau subsistem yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama sebagaimana dikatakan oleh Alan Coffey bahwa :
“Criminal justice can function systematically only to the degrees that each segment of the system takes into account all other segments. In order words, the system is no more systematic than the relationships between Police and prosecution, Police and Court Prosecution and Corrections, Corrections and law, and so forth. In the absence of functional relationships between segments, the criminal justice system is vulnerable to fragmentation and ineffectiveness” . (M Faal, 1991: 25).

Jadi fragmentasi dalam arti masing-masing subsistem bekerja sendiri-sendiri dan tidak memperhatikan antar hubungan diantara sub-subsistem yang ada harus dihindari bilamana diinginkan suatu sistem peradilan pidana yang efektif. Berkaitan dengan hal di ini , Muladi (1995 :119) menyatakan bahwa dalam konsep penegakan hukum, telah berkembang kesepakatan-kesepakatan dan penegasan-penegasan yang antara lain perlu dikembangkannya sistem peradilan pidana yang terpadu. Sistem peradilan pidana terpadu tersebut mencakup sub-subsistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga koreksi (lembaga pemasyarakatan). Disamping itu mengingat peranannya yang semakin besar, penasihat hukum dapat pula dimasukkan sebagai subsistem.
Dijelaskan selanjutnya, sistem peradilan pidana terpadu adalah sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentingan individu termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Menurut Muladi (1995 :119) makna integrated criminal justice system ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :
1.Sinkronisasi struktural ( structural syncronization );
2.Sinkronisasi substansial ( substantial syncronization );
3.Sinkronisasi kultural ( cultural syncronization ).
Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum, sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif, sedangkan sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Wacana tentang sistem peradilan pidana terpadu ini telah lama mengemuka. Bahkan, dapat dikatakan seiring dengan pembentukan UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP. ( Sejak saat itu wacana pembentukan sistem peradilan pidana terpadu terus-menerus diupayakan sampai saat ini. TAP MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, antara lain menekankan bahwa Mahkamah Agung perlu melaksanakan asas-asas Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang sering diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (share norms and values ). ( Muladi, 2002:35).
Apabila keterpaduan dalam bekerjanya sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut :
a. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
b. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan Pidana);
c. Karena tangung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana (Muladi, 2002:35).
Muladi menyatakan makna dari sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada keseimbangan antara tindak pidana (daad) dan pelaku (dader) tindak pidana tersebut. Muladi mendasarkan pandangannya pada tujuan atau fungsi ganda Hukum Pidana, yaitu : (a) Secara primer berfungsi sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional; dan (b) Secara sekunder, sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial, baik yang dilaksanakan secara spontan atau dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya. Dalam fungsi sekunder inilah Hukum Pidana modern bertujuan untuk policing the police, yaitu melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar (Muladi, 2003.: 16)
Berkaitan dengan fungsi hukum pidana tersebut, Packer menyatakan bahwa kesadaran untuk menjalankan kedua fungsi tersebut secara hati-hati akan semakin menjadi besar, bilamana setiap masalah dalam hukum pidana dipertimbangkan dengan seksama. Masalah-masalah utama tersebut adalah kejahatan, kesalahan dan pidana (Packer,1968:173).
Dalam sistem peradilan pidana terpadu, lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum, meskipun tugasnya berbeda-beda dan secara internal mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam sistem peradilan pidana tersebut saling bekerjasama dan terikat pada satu tujuan yang sama. Hal ini bisa terjadi jika didukung adanya sinkronisasi dari segi substansi yang mencakup produk hukum di bidang sistem peradilan pidana yang memungkinkan segenap subsistem dapat bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif.
Disamping itu juga di dukung oleh adanya sinkronisasi secara struktural di masing-masing subsistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, lembaga pemasyarakatan juga dalam hubungan fungsional secara terpadu diantara unsur-unsur peradilan pidana tersebut termasuk dalam hal ini adalah dengan unsur penasihat hukum/advokat dan last but not least adalah sinkronisasi kultural dalam arti ada kesamaan nilai-nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang dihayati bersama diantara komponen sistem peradilan pidana tersebut dalam rangka mencapai tujuan akhir sistem peradilan pidana yaitu kesejahteraan masyarakat ( social welfare ). Tiadanya cara pandang, sikap dan nilai-nilai tertentu yang mendukung keterpaduan sistem peradilan pidana akan menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam penegakan hukum dan mengarah pada “instansi sentris” yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu.
Menurut Barda Nawawi Arief (2007.: 19-26), sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/diwujudkan dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : (1) kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik; (2) kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;(3) kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan (4) kekuasaan pelaksanan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi. Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau integrated criminal justice system.



Penanggulangan Kejahatan Dengan Pendekatan Sistem
Istilah sistem menurut Anatol Rapport adalah whole which function as a whole by vertue of the interdependence of its parts. R.L. Ackoff, menyatakan sistem sebagai entity, conceptual or physical, which concists of interdependent parts ( HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007:5)
Sedangkan Buckley memberikan batasan tentang sistem sebagai :
“System…may be discribed generally as a complex of element or component directly or indirectly related in a causal network, such that each component is related ti at least some others in a more or less stable way within any particular period of time…
The particular kinds of more or less stable interrelationships components that become established of any time constituted the particular structure of the system at the time, thus achieving a kind of “whole” with some degree of continuity and boundary” (Romli Atmasasmita, 1996 : 7).

Menurut Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra,, ciri suatu sistem (1993 : 43-44) adalah a. suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses);b. masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung ( interdependence of its parts ); c.kesatuan elemen yang kompleks itu membentuksatu kesatuan yang lebih besar,yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu ( the whole is more than the sum of its parts); d. keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines the nature of its parts); e. bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the part cannot be understood if considered in isolation from the whole); f. bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu.
Mengenai sistem peradilan pidana, Chamelin/Fox/Whisenand menyatakan bahwa criminal justice system adalah suatu sistem dari masyarakat dalam proses menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara subsistem polisi, pengadilan dan lembaga (penjara) (HR Abdussalam dan DPM Sitompul : 5).
Menurut Romli Atmasasmita (1996 : 10) ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana ialah :
a.Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan);
b.Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;
c.Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara;
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice.
Sejarah mencatat bahwa sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam “criminal justice science” di Amerika Serikat seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban, yang sangat menggantungkan keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.Dalam hubungan ini pihak kepolisian ternyata menghadapi berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur legal dan kemudian kendala ini tidak memberikan hasil yang optimal dalam upaya menekan kenaikan angka kriminalitas, bahkan terjadi sebaliknya. Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem ( system approach ) dan gagasan mengenani sistem ini terdapat dalam laporan Pilot Proyek Tahun 1958. Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President’s Crime Commision (Romli Atmasasmita, 1996 : 8).
Diagram skematik “Criminal Justice System” telah disusun oleh The Commision’s Task force on Science and Technology di bawah pimpinan Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajerial dengan bertopang pada pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sejak saat itu dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain ( Romli Atmasasmita, 1996 : 9).
Menurut Kadish, pengertian sistem peradilan pidana dapat dilihat dari sudut pendekatan normatif, manajemen dan sosial. Ketiga bentuk pendekatan tersebut sekalipun berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bahkan ketiganya saling mempengaruhi dalam menentukan tolok ukur keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan. Sementara itu Geoffrey Hazard Jr. juga mengemukakan adanya tiga pendekatan dalam sistem peradilan pidana yaitu pendekatan normatif, pendekatan administratif dan pendekatan sosial (Romli Atmasasmita,1996 : 11-12).
Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan ) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan administratif memandang aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial.
Membicarakan tentang peradilan pidana, dalam literatur dikenal beberapa model peradilan pidana. Menurut Herbert L. Packer (1968 :153) di Amerika Serikat berkembang beberapa model dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana. Perlu dijelaskan di sini bahwa penggunaan model di sini bukanlah sesuatu hal yang nampak secara nyata dalam suatu sistem yang dianut oleh suatu negara, akan tetapi merupakan suatu sistem nilai yang dibangun atas dasar pengamatan terhadap praktek peradilan pidana di berbagai negara.
Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dua model dalam proses pemeriksaan perkara pidana ( two models of the criminal process ) yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. Pada Crime Control Model didasarkan pada anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas perilaku kriminal ( criminal conduct ), dan ini merupakan tujuan utama proses peradilan, karena yang diutamakan adalah ketertiban umum ( public order ) dan efisiensi. Proses kriminal pada dasarnya merupakan suatu perjuangan atau bahkan semacam perang antara dua kepentingan yang tidak dapat dipertemukan kembali yaitu kepentingan negara dan kepentingan individu (terdakwa ). Di sini berlakulah apa yang disebut sebagai “presumption of guilt” (praduga bersalah) dan “sarana cepat” dalam pemberantasan kejahatan demi efisiensi. Dalam praktek model ini mengandung kelemahan yaitu seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia demi efisiensi.
Akibat seringnya terjadi pelanggaran hak asasi manusia maka munculah model yang kedua yang disebut Due Process Model. Di dalam Due Process Model ini muncul nilai-nilai baru yang sebelumnya kurang diperhatikan, yaitu konsep perlindungan hak-hak individual dan pembatasan kekuasaan dalam penyelengaraan peradilan pidana. Proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter dalam rangka mencapai maksimum efisiensi(Ansorie Sabuan dkk, 1990 :6). Di dalam model ini berlaku asas yang sangat penting yaitu asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocent ).
Kedua model yang diperkenalkan oleh Packer di atas, didasarkan pada pemikiran mengenai hubungan antara negara dan individu dalam proses kriminal yang menempatkan pelaku tindak pidana sebagai musuh masyarakat ( enemy of the society ), sedangkan tujuan utama dari pemidanaan adalah mengasingkan pelaku tindak pidana dari masyarakat ( exile function of punishment ). Menurut John Griffiths kedua model tersebut secara filosofis berlandaskan pada model peperangan (Battle Model) serta pertentangan antara negara dengan individu yang tidak dapat dipertemukan kembali (irreconciliable disharmony of interest ) sehingga jika terjadi kejahatan, maka terhadap si pelaku harus segera diproses dengan menempatkannya sebagai obyek di dalam sistem peradilan pidana.
Sebagai reaksi terhadap kedua model yang diajukan oleh Packer di atas, kemudian Griffiths memperkenalkan model yang ketiga yang oleh Griffiths disebut sebagai Family Model ( model kekeluargaan ). Menurut Family Model ini tidak ada pertentangan yang tidak dapat diselaraskan. Filsafat yang mendasari model ini adalah kasih sayang sesama hidup atas dasar kepentingan yang saling menguntungkan ( mutually supportive and state of love ).
Dikatakan oleh Griffiths bahwa setiap kehidupan dalam masyarakat hendaknya selalu dilandasi oleh kasih sayang yang berlanjut sebagaimana yang ada dalam keluarga kecil. Di dalam keluarga misalnya bila terjadi kenakalan yang dilakukan oleh seorang anak, kita tidak boleh menyebut si anak tersebut adalah jahat. Sanksi pidana dalam hal ini tidak berfungsi untuk mengasingkan, tetapi untuk pengembalian kapasitas pengendalian diri (capacity for self control ).
Salah satu negara yang disebut-sebut menganut Family Model ini adalah negeri Belanda. Hal ini dibuktikan dengan kurang ditonjolkannya pidana perampasan kemerdekaan, tetapi yang lebih dipentingkan adalah sarana non-institusional. Bukti lain adalah bahwa di negeri Belanda telah berkembang secara luas lembaga pelayanan sosial, yang tidak hanya memberikan bantuan finansial tetapi juga yang bersifat non finansial, berkembangnya pusat-pusat kegiatan remaja yang dibina secara baik oleh pemerintah dan swasta, banyaknya pekerja sosial yang terlibat di dalam lembaga sosial, masmedia yang mendukung secara positif model kekeluargaan tersebut dan memberitakan secara selektif segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan peradilan pidana.
Di samping ketiga model sistem peradilan pidana yang telah diuraikan di atas, dalam perkembangannya saat ini terdapat berbagai usaha untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai sistem peradilan pidana terpadu atau integrated criminal justice system. Model terpadu dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat dikaji dalam sistem peradilan pidana di Jepang yang memiliki karakteristik : 1.adanya sistem pendidikan yang memadai dari para penegak hukum yang memungkinkan mereka memiliki pandangan yang sama dalam melaksanakan tugasnya. Seleksi untuk menjadi hakim, jaksa, dan pengacara dalam penyelenggaraan peradilan pidana dilaksanakan oleh organisasi pengacara di Jepang dan setelah mereka lulus, kemudian masuk dalam pendidikan yang sama yang dikoordinasikan oleh Mahkamah Agung Jepang; 2.para penegak hukum profesional yang dicapai melalui pelatihan yang baik dengan disiplin yang tinggi, serta terorganisir dengan baik; 3.tujuan yang ingin dicapai adalah apa yang disebut sebagai “precise justice” atau keadilan yang pas ( tepat ). Konsep “precise justice” ini tampaknya merupakan kritik orang Jepang terhadap model peradilan pidana di Amerika Serikat yang menurut mereka hanya mengejar apa yang disebut sebagai layman justice ( keadilan orang-orang awam ); 4.adanya partisipasi masyarakat yang tinggi akibat tingkat profesionalisasi yang dimiliki oleh aparat penegak hukum di Jepang.
Hiroshi Ishikawa ( 1984 :4-21) mengemukakan bahwa ada beberapa indicator keberhasilan dari penerapan integrated model, yaitu : a). clearence rate yang tinggi; b. convection rate (keberhasilan pengadilan menyelesaikan perkara ); c. rule of suspension (tingkat penundaan penuntutan);d.speed disposition (penyelesaian perkara yang cepat); e.sentencing (pemidanaan) dan . reconciction rate (rata-rata pengulangan kejahatan/residivis).

KUHAP Sebagai Sistem Penanggulangan Kejahatan
Sistem Peradilan Pidana yang digariskan KUHAP Tahun 1981 merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang diletakkan di atas prinsip “diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang.(M. Yahya Harahap, 2004 : 90) 2004.Aktivitas pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana merupakan fungsi gabungan ( collection of function ) dari : (M. Yahya Harahap, 2004 : 90).
1. Legislator;
2. Polisi;
3. Jaksa;
4. Pengadilan;
5. Penjara;
6. Badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Setelah berlakunya KUHAP Tahun 1981 maka mekanisme penyelesaian perkara pidana di Indonesia yang semula didasarkan pada Het Herzienne Inlandsch Reglement (HIR) Stbld. Tahun 1941 N0.44 telah dicabut. KUHAP Tahun 1981 memuat sepuluh asas penting dalam penyelenggaraan peradilan pidana yaitu : 1. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence ). Asas ini menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap; 2. Asas Opportunitas yaitu wewenang Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara demi kepentingan umum; 3. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan ;4. Asas unus testis nullus testis , bahwa satu saksi bukan saksi; 5.Asas Pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum; 6.Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim; 7. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap, ini berarti bahwa pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat hakim-hakim yang tetap oleh kepala negara. Dalam sistem juri, yang menentukan salah tidaknya terdakwa adalah suatu dewan yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka ini adalah awam tentang ilmu hukum; 8.Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum; 9.Asas Akusator dan Inkuisitor; Asas akusator artinya tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subyek dalam pemeriksaan. Sedangkan asas inkuisitor; berarti tersangka hanya dipandang sebagai obyek pemeriksaan belaka; 10. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka diketahui bahwa komponen sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri atas unsur-unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Selain itu ada satu komponen lagi yaitu komponen penasihat hukum yang meskipun bukan aparat penegak hukum tetapi mereka bersama-sama dengan polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan sebagi penegak hukum. Penegasan advokat/penasihat hukum sebagai penegak hukum juga telah mendapat penegasan yang mantap dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Diantara keempat aparatur penegak hukum ( polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan ) bersama-sama dengan penasihat hukum/advokat memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain dalam kapasitas mereka selaku penegak hukum. Jadi pelaksanaan penegakan hukum berdasarkan KUHAP Tahun 1981 idealnya dilaksanakan melalui sebuah mekanisme peradilan pidana yang telah ditata sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem.



DAFTAR PUSTAKA

Adidjojo, Sukardjo. 1985. Profesi Advokat, BAHANA No.3

Alan Rugman, 2000, The End of Globalization, London : Random House Business Book.

Alan Cofey, Edward Eldefonso dan Walter Hartinger, 1982, “An Introduction to the Criminal Justice System and Process”, New Jersey : Prentice Hall.

Ansorie Sabuan dkk, 1990. Hukum Acara Pidana, Bandung : Angkasa.

Atmasasmita, Romli.1996. Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme) Bandung :Bina Cipta.

------------------------,1996, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung :Mandar Maju

Barda Nawawi Arief, 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang : BP Univ.Diponegoro

--------------------------, 1994. Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang : CV. Ananta.

Cavadino, Michael and Dignan, James, 2002. The Penal System An Introduction, Third Edition, London Thousand Oaks New Delhi : SAGE Publication.

Chaerudin dkk, 2007. Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : PT, Refika Aditama.

E. Conclin, John 1975. The Impact of Crime, New York : MacMillan Publishing Co.

Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann and Anne Griffiths, 2005. Mobile People,Mobile Law, Expanding Legal Relations in a Conracting World,Eangland : Ashgate Publishing Limited Gower House Croft Road Aldershot Hants GU 113 HR.

HR. Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Restu Agung.

Harahap, M. Yahya. 2004. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua, Jakarta : Sinar Grafika.

Hiroshi Ishikawa, “Characteristic Aspect of Japaneshe Criminal Justice System”, Makalah pada Seminar Kerjasama Indonesia-Jepang tentang Penanggulangan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku Kejahatan, Jakarta : Januari 1984

---------------, 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, cetakan ke satu, Bandung : Alumni.

Marcus Felson and Ronald V. Clarke, 1997. Business and Crime Prevention, Monsey, New York : Criminal Justice Press.

M. Faal, 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi ( Diskresi Kepolisian ), Jakarta : Pradnya Paramita.
Mohammad Hatta, 2008. Menyongsong Penegakan Hukum Responsif Sistem Peradilan Pidana Terpadu ( Dalam Konsepsi dan Implementasi)Kapita Selekta,Yogyakarta : Gallang Press.

Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang :Badan Penerbit UNDIP.

--------, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, cet. Pertama, Jakarta :The Habibie Center.

---------, 2003.Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni.

Packer, Herbert L., 1968. The Limits of Criminal Sanction, California: Stanford University Press,

Khandaker, Abdur.1982. Police and Criminal Justice in Bangladesh,UNAFEI

R.M.Surachman dan Andi Hamzah, 1994. Jaksa di Berbagai Negara ( Peranan dan Kedudukannya), Jakarta : Sinar Grafika.

The United Nations and Crime Prevention, 1991 : New York.

PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP